FILSAFAT PROSES
Proses dan Realitas dalam Kajian Kosmologi
Karya: Alfred North Whitehead
Ukuran Buku: 15,5 x 24 cm
Tebal: xxxii + 608 Halaman
Harga: Rp 90.000,-
KULIAH-kuliah ini didasarkan pada perulangan fase pemikiran filosois yang bermula dengan Descartes dan berakhir dengan Hume. Skema filosofis yang ingin mereka jelaskan disebut ‘Filsafat Organisme.’ Tidak ada doktrin yang telah diajukan yang tidak membela pernyataan eksplisit salah seorang dari kelompok pemikir ini, atau salah satu dari dua pendiri semua pemikiran Barat, yakni Plato dan Aristoteles. Namun filsafat organisme cenderung me-nekankan unsur-unsur dalam tulisan-tulisan para empu ini yang telah disisihkan para sistematikawan yang lebih belakangan. Penulis yang paling banyak mengantisipasi pendirian-pendirian utama filsafat organisme adalah John Locke dalam Essay–nya, terutama dalam buku-buku bagian akhir karya ini.
Kuliah-kuliah ini dibagi menjadi lima bagian. Pada bagian pertama akan dijelaskan metode, dan skema ide-ide yang membingkai penyusunan kosmologi hanya akan dinyatakan secara ringkas.
Dalam bagian kedua, akan ditunjukkan bahwa skema ini layak dipakai untuk menafsirkan ide-ide dan masalah-masalah yang membentuk tekstur rumit pemikiran beradab. Tanpa penyelidikan yang demikian, ringkasan Bagian I praktis tidak akan terpahami. Bab II akan menjelaskan makna ungkapan-ungkapan verbal skema itu lewat penggunaannya di dalam diskusi sekaligus akan menunjukkan kekuatan skema itu dalam menaruh pelbagai unsur pengalaman kita ke dalam hubungan yang konsisten satu sama lain. Untuk memperoleh penjelasan yang agak lengkap atas pengalaman manusia yang dipikirkan sehubungan dengan masalah-masalah filosofis yang muncul secara alamiah, akan dibahas beberapa orang filsuf dan ilmuwan dari abad ketujuh belas dan kedelapan belas, khususnya Descartes, Newton, Locke Hume dan Kant. Masing-masing penulis ini berat sebelah dalam menyajikan fondasi pengalaman; tetapi secara keseluruhan mereka memberikan penyajian umum yang mendominasi perkembangan filsafat berikutnya. Tadinya saya mengawali penyelidikan ini dengan harapan akan sibuk dengan membuat penjelasan terperinci mengenai perbedaan masing-masing pemikir tersebut. Namun pemeriksaan cermat atas pernyataan-pernyataan mereka ternyata menyingkapkan bahwa pada pokoknya filsafat organisme adalah perulangan cara-cara pemikiran pra-Kantian. Para filsuf ini dibuat bingung oleh praandaian-praandaian tak konsisten yang mendasari cara-cara pengungkapan yang mereka warisi. Sejauh ini mereka, atau para penerusnya, telah berusaha sistematis dengan cara yang kaku. Kecenderungan itu justru meninggalkan unsur-unsur yang melandasi filsafat organisme di dalam pemikiran mereka. Di sini akan ditunjukkan di mana persisnya letak kesepakatan dan ketaksepakatan di antara mereka.
Pada bagian kedua, diskusi-diskusi mengenai pemikiran mo¬dern dibatasi hanya pada gagasan-gagasan paling umum di bidang fisika dan biologi sambil secara hati-hati menghindari perincian. Lagi pula, salah satu motif kosmologi yang leng¬kap harusnya adalah membangun suatu sistem ide yang dapat menghubungkan minat-minat estetis, moral, dan religius dengan konsep-konsep dunia yang berasal dari ilmu alam.
Pada bagian ketiga dan keempat, skema kosmologis dikembangkan berdasarkan gagasan-gagasan kategorialnya sendiri, tanpa banyak memerhatikan sistem-sistem pemikiran lain. Sebagai contoh, pada Bagian II ada suatu bab mengenai ‘Kontinum Ekstensif’ (Extensive Continuum) yang lebih terkait dengan gagasan Descartes dan Newton dibandingkan de¬ngan cara yang harus digunakan filsafat organik untuk menafsirkan ciri-ciri dunia. Tetapi pada Bagian IV, pertanyaan ini dibahas dari segi pengembangan metode terperinci tempat filsafat organisme membangun teori mengenai masalah ini. Harus dipahami betul bahwa tema kuliah-kuliah ini bukanlah penimbangan yang objektif terhadap berbagai masalah filosofis tradisional yang penting bagi sistem-sistem pemikiran tradisional tertentu. Kuliah-kuliah ini dimaksudkan untuk menyatakan suatu skema padat ide-ide kosmologis, untuk mengembangkan maknanya dengan menghadapkannya kepada berbagai topik pengalaman, dan akhirnya untuk me-nguraikan suatu kosmologi yang layak tempat semua topik khusus menemukan kesalinghubungannya. Dengan begitu kesatuan pembahasan dicari dalam perkembangan bertahap skema tadi, dalam makna dan dalam relevansi, dan bukan dalam urutan pembahasan topik-topik khusus. Sebagai contoh, doktrin-doktrin mengenai waktu, ruang, persepsi, dan kausalitas terus berulang seiring dengan perkembangan kosmologi. Dalam tiap perulangan, topik-topik ini memberikan keterangan tertentu yang baru pada skema itu, atau menerima penjelasan tertentu. Pada akhirnya, jika usaha itu sudah berhasil, tak boleh ada lagi masalah ruang-waktu, atau epistemologi, atau kausalitas, yang tersisa untuk didiskusikan. Karena skema itu telah berhasil mengembangkan semua konsep generik yang cocok untuk mengungkapkan setiap kesalinghubungan yang mungkin antarberbagai hal.
Di antara aliran-aliran pemikiran kontemporer, jelaslah saya berutang kepada para Realis Inggris dan Amerika. Sehubungan dengan hal ini, secara khusus saya harus menyebutkan Profesor T.P. Nunn, dari Universitas London. Antisipasi-antisipasi yang ia lakukan, dalam Proceedings of the Aristotelian Society, atas beberapa doktrin Realisme dewasa ini, tampaknya belum cukup banyak dikenal.
Saya juga sangat berutang kepada Bergson, William James, dan John Dewey. Salah satu pekerjaan saya ialah menyelamatkan tipe pemikiran mereka dari tuduhan antiintelektualisme, yang dikaitkan dengannya secara benar atau salah. Akhirnya, kendati di sepanjang badan utama karya ini ada ketaksepakatan saya yang tajam dengan Bradley, namun bagaimanapun juga hasil akhirnya tidak begitu berbeda. Saya berutang secara khusus kepada bab mengenai kodrat pengalaman, yang tampak dalam karyanya Essays on Truth and Reality. Desakannya akan pentingnya ‘perasaan’ sangat selaras dengan kesimpulan saya sendiri. Keseluruhan pendirian metafisik ini adalah penolakan tersirat terhadap doktrin ‘aktualitas hampa’ (vacuous actuality).
Bagian kelima berkenaan dengan penafsiran akhir atas cara terbaik memahami masalah kosmologis. Bagian ini menjawab pertanyaan, Apakah segala yang disadari itu? Dalam bagian ini, jelaslah kemiripannya dengan Bradley. Memang, jika kosmologi ini dianggap berhasil, pada titik ini wajarlah menanyakan apakah tipe pemikiran yang termaktub bukan merupakan pengubahan beberapa doktrin utama Idealisme Absolut dengan landasan realistik.
Kuliah-kuliah ini dapat dipahami dengan lebih baik dengan memerhatikan kebiasaan-kebiasaan berpikir yang lazim berikut ini, yang sering disangkal pengaruhnya pada filsafat:
(i) Ketakpercayaan pada filsafat spekulatif.
(ii) Kepercayaan pada bahasa sebagai ungkapan yang memadai bagi proposisi.
(iii) Cara pemikiran filosofis yang menyiratkan, dan disiratkan oleh, kecakapan-psikologi.
(iv) Bentuk ungkapan subjek-predikat.
(v) Doktrin sensasionalis perihal persepsi.
(vi) Doktrin perihal aktualitas hampa.
(vii) Doktrin Kantian perihal dunia objektif sebagai konstruk teoretis dari pengalaman subjektif belaka.
(viii) Deduksi-deduksi serampangan dalam argumen-argumen ex absurdo.
(ix) Kepercayaan bahwa inkonsistensi-inkonsistensi logis dapat menunjukkan hal lain selain kesalahan-kesalahan terdahulu.
Karena terburu-buru menerima beberapa, atau kesembilan, mitos atau prosedur yang sesat ini, banyak filsafat abad kesembilan belas menghilangkan pertaliannya dengan fakta-fakta yang akan dihilangkan kehidupan sehari-hari.
Doktrin positif kuliah-kuliah ini berkenaan dengan sang menjadi (the becoming), pengada (the being), dan keberhubungan ‘satuan aktual’ (the relatedness of actual entities). Suatu ‘satuan aktual’ adalah res vera di dalam pengertian Cartesian atas istilah itu;2 ‘satuan aktual’ adalah ‘substansi’ Cartesian, dan bukan ‘substansi primer’ Aristotelian. Tetapi di dalam doktrin metafisikanya, Descartes meneruskan pengutamaan Aristotelian atas kategori ‘kualitas’ ketimbang ‘keberhubungan.’ Di dalam kuliah-kuliah ini, ‘keberhubungan’ lah yang dominan terhadap ‘kualitas.’ Semua keberhubungan diandaskan pada keberhubungan aktualitas-aktualitas; dan keberhubungan tersebut seluruhnya berkenaan dengan pemanfaatan yang mati oleh yang hidup—yakni, dengan ‘kebakaan objektif’ (objective immortality)*. Kebakaan ini-lah yang membuat hal-hal yang ditanggalkan dari pengalaman-langsung-hidup (living immediacy) suatu satuan yang sudah mati menjadi komponen nyata dalam berbagai pengalaman-langsung-hidup lainnya dari satuan aktual yang sedang menjadi (becoming). Inilah doktrinnya, yaitu, bahwa gerak maju kreatif dunia adalah menjadinya, binasanya, dan kebakaan objektif benda-benda yang berpadu menyusun fakta-fakta yang sukar dihilangkan.
Sejarah filsafat memperlihatkan dua kosmologi yang telah mendominasi pemikiran Eropa pada kurun waktu yang berbeda-beda: Timaeus-nya Plato3 dan kosmologi abad ketujuh belas, dengan para penulis utamanya adalah Galileo, Descartes, Newton, Locke. Dalam mencoba melakukan usaha yang sejenis, bijaksanalah mengikuti petunjuk itu sehingga solusi yang benar mungkin terkandung dalam penggabungan kedua skema terdahulu dengan berbagai modifikasi yang dituntut oleh konsistensi-diri dan kemajuan pengetahuan. Kosmologi yang diterangkan dalam kuliah-kuliah ini dibingkai sesuai dengan pegangan pada nilai positif tradisi filosofis. Ujian keberhasilannya adalah kememadaiannya untuk memahami aneka pengalaman di dalam batas-batas suatu skema ide-ide. Usaha memenuhi persyaratan ini dijelaskan dengan membandingkan Bab III, VII, dan X dari Bagian II, yang secara berturut-turut diberi judul ‘Keteraturan Alam,’ ‘Prinsip Subjektivis,’ dan ‘Proses,’ dengan Bab V dari Bagian III, yang diberi judul ‘Fase-fase Pengalaman yang Lebih Tinggi,’ dan dengan Bab V dari Bagian IV, yang diberi judul ‘Pengukuran,’ dan de¬¬ngan Bab II dari Bagian V, yang diberi judul ‘Tuhan dan Dunia.’ Bab-bab ini harus diakui sebagai hasil yang sah dari satu skema ide-ide yang dinyatakan di dalam bab kedua dari Bagian I.
Di dalam kuliah-kuliah ini saya telah berusaha memadatkan bahan yang diperoleh dari perenungan saya selama bertahun-tahun. Dalam menelurkan hasil-hasil ini, ada empat kesan kuat mendominasi pikiran saya: Pertama, bahwa gerakan historis, dan filosofis, kritik atas pertanyaan-pertanyaan objektif, yang secara keseluruhan telah mendominasi dua abad terakhir, telah melakukan tugasnya, dan perlu dilengkapi dengan usaha pemikiran konstruktif yang lebih berkelanjutan. Kedua, bahwa metode sejati konstruksi filosofis adalah untuk membingkai suatu skema ide-ide, inilah hal terbaik yang dapat dilakukan orang, dan menjelajah penafsiran pengalaman dengan sikap yang pantang menyerah berdasarkan skema itu. Ketiga, bahwa semua pemikiran konstruktif, mengenai berbagai topik khusus minat ilmiah, didominasi oleh skema tersebut, kendati tidak diakui, namun tak kurang pengaruhnya dalam menuntun imajinasi. Arti penting filsafat terletak pada usahanya yang berkelanjutan dalam mengeksplisitasi skema itu, sehingga mampu melancarkan kritik dan perbaikan.
Renungan terakhir yang tersisa adalah seberapa dangkal, remeh dan tak sempurnakah usaha-usaha itu untuk menduga kedalaman-kedalaman kodrat benda-benda. Dalam diskusi filosofis, isyarat paling halus akan kepastian dogmatis finalitas pernyataan merupakan peragaan kebodohan.
Dalam pengembangan kuliah-kuliah ini hingga menjadi buku seperti ini, saya sangat berutang kepada anggota kelas Harvard saya untuk saran mereka mengenai berbagai kesulitan yang genting. Selain itu, buku ini tidak akan pernah ditulis tanpa dorongan terus-mnerus dan nasihat dari istriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar