Kamis, 15 Desember 2016

ARENA PRODUKSI KULTURAL (CETAK ULANG)

 
Tebal : lii + 396 halaman.
Ukuran Buku : 15,5 x 24 cm 
Harga : Rp 85.000,-
Penulis: Pierre Bourdieu







Arena Produksi Kultural mempersembahkan tulisan-tulisan terpenting Bourdieu seputar kebudayaan, terutama yang terkait dengan seni, sastra, estetika serta posisi intelektual dan budayamawa dalam kehidupan sosial.       
     Di sini Bourdieu mengembangkan pendekatan yang benar-benar orisinal terhadap kajian sastra dan karya-karya seni lain. Dia membahas masalah-masalah kunci yang mengisis ruang perdebatan sastra, seni dan kritik kebudayaan di penghujung abad xx: nilai estetis dan penilaian, konteks sosial praktik kultural, peran intelektual dan seniaman, serta struktur otoritas kesusastraan dan kesenian.    
      Bourdieu membangun sebuah teori arena kultural yang menempatkan karya seni di dalam kondisi-kondisi sosial produksi, sirkulasi dan konsumsinya. Dia mengkaji individu dan lembaga apa saja yang berperan dalam menjadikan karya kultural sebagai produk kultural: bukan hanya penulis dan seniman, tapi juga penerbit, kritikus, deler, galeri dan akademi-akademi. Dia menganalisis struktur arena kultural maupun posisi arena ini di dalam struktur kekuasaan yang terdapat di ranah sosial yang lebih luas.   Esai-esai yang termuat di sini mengkaji topik-topik yang beragam, mulai dari sudut pandang Flaubert dalam menulis novel, revolusi estetika yang dilancarkan Manet di dunia seni lukis, latar historis kemunculan tatapan murni (pure gaze) dalam mengapresiasi karya seni, sera yang paling penting, hubungan seni dengan kekuasaan.    
     Arena Produksi Kultural patut sekali dikonsumsi mahasiswa dan ilmuwan dari berbagai disiplin: sosiologi dan teori sosial, sastra, seni serta kajian budaya.


Jumat, 21 Oktober 2016

Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (Edisi Revisi)


Penulis: Richard Jenkins
Tebal : vi + 298 halaman.
Ukuran Buku 14,5 x 21 cm
Harga : Rp 60.000,- 



Biasa jadi terdapat sedikit keragaman akan arti penting kontribusi Bourdieu dalam sosiologi dan antropologi sosial. Dengan meninggalkan Althuser. Barthes dan Foucoult, melebihi figure lain semisal Boudon Touraine, dia tampil untuk menunjukkan nilai dan vitalitas yang terus berlanjut dalam tradisi intelektual ilmu sosial Prancis. Dengan membangun ruang politis dan teoritis di luar Marx, Weber san Durkheim, strukturalisme dan interaksionisme, determinisme pesimistis dan keyakinan selebratoris dalam meningkatkan potensi kreasi praktik kehidupan manusia, dia muncul sebagai sumber heterodoks dan menarik bagi inspirasi teori sosial pada era 1990-an.

Terdapat sejumlah alasan yang lebih spesifik mengapa pengkajian karaya Bourdieu begitu penting. Pertama, dia memberikan kontribusi utama dalam debat tentang hubungan antara struktur dan tindakansebagai satu pertanyaan kunci bagi teori sosial yang muncul lagi pada akhir era 1970-an dan awal 1980-an. Kedua, dibandingkan dengan Anthony Giddens, misalnya, kontribusi tersebut secara konsisten telah dikerangkakan oleh kombinasi kerja empiris sistemati apakah mendasarkan lagi pada emografi atau pendekatan survai sosial dengan teorisasi reflektif. Tarik menarik: ‘teori tanpa penelitian empiris adalah hampa, penelitian empiris tanpa teori buta’

Adapun alasan ketiga, mungkin sebagai konsekuensinya dari fakta bahwa Bourdieu telah menjadi seseorang peneliti masalah sosial yang begitu aktif. Pertanyaan epistemologinya tentang inti kelayakan ilmu pengetahuan sosial dan syarat memungkinkan hal ini menjadi isu sentral dalam proyeknya. Hal-hal tersebut merupakan pertanyaan telah membuat banyak sisiolog dan antropolog apakah mereka menyebut dirinya sebagai ‘teoritikus’ atau ‘peneliti’ kehabisan akal.

Sabtu, 24 September 2016

Cultural Studies (Cetak Ulang)


Penulis: Chris Barker
Tebal: xxvi + 470
Ukuran Buku: 155 240 cm
Harga : 90.000







Meski studi tentang kebudayaan telah berlangsung di berbagai disiplin akademis –sosiologi, antropologi, sastra, dll– dan meliputi konteks ruang geografis maupun institusional, namun ia bukanlah cultural stu­dies. Cultural studies adalah suatu arena interdisipliner di mana perspektif dari di­siplin yang berlainan secara selektif dapat diambil dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan, kebutuhan akan perubahan dan representasi atas kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, khu­susnya kelas, gender dan ras (namun juga termasuk umur, kecacatan, nasionalitas, dll). Dengan demikian, cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh pa­­ra pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoretis sebagai praktik politik. Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa.
Cultural studies tidak bisa membicarakan satu mazhab teori saja, dan ia tidak cukup dibicarakan hanya oleh satu mazhab. Terlebih lagi subjek kajiannya melintasi benua, negara, suku bangsa, golongan, kelas, kelompok, umur, jenis kelamin, ideologi, kekuasaan dll., melintasi ruang-waktu dan fenomena-fenomena budaya lainnya yang mungkin sangat spesifik di suatu wilayah dan atau berlaku pada kurun waktu tertentu saja. Subjek-subjek ini sudah sejak lama menjadi wilayah disiplin ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu cultural studies selalu merupakan bidang penelitian yang multi- dan post-disipliner.
Arena institusional utama bagi cultural studies adalah perguruan tinggi, dan de­ngan demikian cultural studies menjadi seperti disiplin akademis lain. Na­mun, dia mencoba membangun hubungan di luar institusi akademis, seperti dengan gerakan so­sial dan gerakan politik, para pekerja dalam institusi-institusi budaya, dan ma­najemen budaya. Dalam buku ini dibahas berbagai fenomena budaya kontemporer seperti budaya televisi, sinetron, politisasi atas berita dunia, gaya rock, gaya punk, musik rap, musik pop, kerusuhan di kota-kota besar, budaya dan perilaku para imigran, pemusatan kepemilikan media, isu gender, globalisasi, multikulturalisme, dsb.
Ide yang paling berpengaruh dalam cultural studies, antara lain Marxis­me, kulturalisme, strukturalisme, pascastrukturalisme, psikoanalisis dan politik per­bedaan (termasuk feminisme, te­ori ras, etnisitas dan teori pascakolonialisme).
Buku ini banyak mengetengahkan karya cultural studies yang tengah berkembang di Inggris, Amerika Serikat, Eropa Kontinental dan Australia, serta sedikit cultural studies yang berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan eksplorasi teori dan referensi yang sangat kaya.


Rabu, 21 September 2016

Kesatuan Teologi dan Ilmu Pengetahuan





Penulis :John Polkinghorne
Tebal : xvi + 164 halaman.
Ukuran Buku : 14,5  21 cm
Harga : Rp 40.000,- 







Sebagai sosok seorang pendeta yang kepiawaiannya di bidang fisika dikagumi orang, Polkinghorne, tentunya mempunyai hipotesis bahwa postenlightment akan terjadi melalui bersatunya IPTEK dengan agama. Sebelum IPTEK muncul agama itulah yang dikenal oleh kaum pendeta dan kyai, meskipun mereka gagal memperlihatkan dalam hal apa agama bisa dipandang sebagai enlightment pada waktu ini. Karena itu dia berusaha memperlihatkan keniscayaan bagaimana mu’jizat 
itu bisa terjadi.


Selanjutnya pada Bab II dan III Polkinghorne berbicara mengenal the nature of science dan the nature of theology. Di Bab III dia tidak langsung membahas hubungan atau interaksi itu, melainkan berbicara mengenai the nature of the physical world. Pada Bab IV baru dia membahas mengenai points of interaction. Pada Bab V dia mencoba mendemonstrasikan bahwa kontradiksi itu akan lenyap atau melunak, kalau kita berhasil meningkatkan the level of description, the higher meaning, atau dalam bahasa kaum sufi meningkatkan maqam kesadaran.