Selasa, 17 November 2015

THE END OF HISTORY



THE END OF HISTORY
Karya: Francis Fukuyama
Kata Pengantar: Pierre Hassner
Ukuran: 12 x 19,5 cm
Tebal: xxx + 78 halaman
Harga: Rp 30.000





Sayang bahwa Hegel sekarang hanya di­kenal sebagai pendahulu Marx. Dan betapa menyedihkan bahwa sesung­guh­nya hanya sedikit di antara kita yang akrab dengan kar­ya-karya Hegel melalui studi langsung. Keba­nyakan telah mela­lui sa­ringan kacamata Marxisme yang sudah diputarbalikkan. Marx mem­balikkan sama sekali prioritas ke­nyataan dan ide. Ia menempatkan se­luruh alam pikiran—agama, seni, kebu­da­yaan, dan filsafat itu sen­diri—ke da­lam suatu “superstruktur” yang selu­ruhnya ditentu­kan oleh alat produksi ma­­teri yang ada. Warisan Marxisme lain ialah kecenderungan kita untuk mun­dur ke penjelasan fenomena mate­rial­is atau ke­masla­­hat­an politik atau sejarah dan keeng­­ganan kita untuk percaya pada kekuatan ide otonom itu.

Un­tunglah, di Perancis ada usaha untuk menye­lamat­kan Hegel dari para penafsir Marxis dan menghidupkan­nya kembali sebagai filo­sof yang dengan pas berbicara tentang masa kini. Sebagai contoh, bila dilihat dari sudut pandang ma­te­­rial­isme, sulit ditemukan alasan material menga­pa gerakan fasis baru tidak akan muncul se­telah perang di tempat-tempat lain. Namun ini mudah dipahami oleh mereka yang me­mahami kekuatan ide. Bukti lain adalah berkurangnya masalah kelas masyarakat, dan daya tarik komunisme di negara maju di Barat ditunjukkan de­ngan merosotnya keanggotaan dan ke­populeran partai komu­nis di Eropa, dan dalam program-program revisionis ter­buka mereka.

TAN MALAKA DAN TUHAN (Menuju Gagasan Post-Madilog)



TAN MALAKA DAN TUHAN
Menuju Gagasan Post-Madilog
Karya: Ki. H. Ashad Kusuma Djaya
Pengantar: DR Suprojo Tamtomo
Ukuran: 12 x 19,5 cm
Harga Rp 40.000


Pemikiran Post-Madilog yang dikembangkan penulis menjadi semacam dasar bagi teori sosial berketuhanan yang Maha Esa dan merupakan gagasan besar yang sekarang ini hampir sulit ditemukan muncul dari civitas akademika di kampus-kampus nusantara. Semoga pemikiran demikian selalu tumbuh dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia. 
DR Suprojo Tamtomo
Direktur Pusat Studi Pergerakan Nasional




Kita bisa berprasangka baik bahwa pada prinsipnya cara Tan Malaka mencari Tuhan sama dengan Nabi Ibrahim, hanya saja yang dikemukakannya baru sampai pada cara pandang materialisme, belum post-materialisme. Pemahamannya tentang Tuhan baru sampai bintang, bulan, dan matahari, dalam logika yang “lebih besar” itu yang dijadikan Tuhan. Konsepsi ketuhanan yang disodorkan Tan Malaka belum melihat tenggelamnya matahari sehingga belum bisa menemukan wisdom “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada yang menciptakan langit dan bumi”. Tan Malaka belum melihat bubarnya Uni Soviet dan berubahnya ekonomi China menjadi kapitalistik, sehingga ia masih percaya komunisme sebagai pilihan politiknya.
Logika post-materialisme menjadikan materi sekedar sebagai alat untuk mencapai hakikat “yang menciptakannya”. Dalam politik ekonomi, logika post-materialisme itu menjadikan materi sebagai alat untuk menciptakan keadilan sebagai salah satu wujud dari sifat adil Tuhan. Dengan demikian post-materialisme tidak mengenal kelas yang ditentukan oleh penguasaan modal seperti pembagian kelas borjuis dan proletar. Namun yang dikenal dalam logika post-materialisme adalah golongan dzalim dan adil.